Penulis: Musrafiyan, S.H., M.H (Advokat / Praktisi Hukum)
BERITA RAKYAT ACEH I 20 tahun pasca penandatanganan _Memorandum of Understanding_ (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005, Aceh berdiri sebagai salah satu contoh paling berharga dari penyelesaian konflik bersenjata melalui negosiasi damai di Asia Tenggara. Namun, keberhasilan menghentikan kekerasan bukanlah garis finis. Tantangan dua dekade berikutnya adalah mengubah “perdamaian negatif” (ketiadaan perang) menjadi “perdamaian positif” (suatu tatanan yang adil, inklusif, berkeadilan transisional, dan berkelanjutan secara ekonomi). Dalam opini ini, saya menilai capaian dan kekosongan implementasi MoU dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), membaca data sosial-ekonomi terkini, dan merumuskan langkah konkret menuju langkah Aceh ke “perdamaian positif.”
Mengukur “Perdamaian Positif
Istilah “perdamaian positif” yang dipopulerkan oleh Bapak Studi Perdamaian, Johan Galtung bukan sekadar tidak adanya kekerasan langsung, melainkan lenyapnya kekerasan struktural dan hadirnya institusi yang adil serta peluang yang setara. Dalam kerangka ini, indikatornya melampaui keamanan, yang meliputi akuntabilitas, pemenuhan hak, akses layanan dasar, ekonomi yang produktif dan inklusif, serta ruang politik yang kompetitif namun damai. Sehingga melalui kacamata tersebut, performa Aceh harus dibaca dari tiga klaster, yakni keamanan dan politik, keadilan transisional dan supremasi hukum, serta pembangunan sosial-ekonomi dan tata kelola fiskal.
Keadilan Transisional: Pekerjaan Rumah yang Menentukan
MoU menyebut perlunya _Human Rights Court_ dan _Truth and Reconciliation Commission_ (TRC/KKR). UUPA menindaklanjuti melalui Pasal 228 (Pengadilan HAM di Aceh) dan Pasal 229 (KKR Aceh), bahkan memberi tenggat waktu pembentukan masing-masing paling lambat 1 tahun sejak pengesahan UUPA. Namun realitas menyimpang dari norma. KKR Aceh memang disahkan lewat Qanun 17/2013 dan bekerja mengumpulkan pernyataan korban, menyelenggarakan hearing, serta merumuskan rekomendasi pemulihan yang sebagian mulai dieksekusi. Namun lembaga ini menghadapi keterbatasan kewenangan eksekutorial. Adapun Pengadilan HAM di Aceh belum juga hadir hingga hari ini, membuat mandat UUPA macet pada simpul terpenting penegakan keadilan. Penyembuhan luka kolektif berjalan setengah hati, Korban menuntut kebenaran, reparasi bermakna, dan jaminan ketidakberulangan. Di sinilah kualitas “perdamaian positif” diuji.
Pembangunan Sosial-Ekonomi
Dua dekade damai mestinya memberi ruang lompatan kesejahteraan. Namun data BPS menunjukkan kemiskinan Aceh masih di atas rata-rata nasional. Indeks Pembangunan Manusia progresif namun belum masuk papan atas nasional. Data persoalan ini menunjukkan tren perbaikan pasca-konflik, tetapi “dividen damai” belum optimal terutama dalam penciptaan kerja produktif dan pengurangan kemiskinan secara tajam.
Dengan tambahan DBH migas (55% minyak; 40% gas) dan Dana Otsus 20 tahun (konversi 2%/1% DAU nasional), Aceh memperoleh ruang fiskal luar biasa dibanding provinsi lain. Pasal 183 ayat (1) UUPA menargetkan dana ini untuk infrastruktur, pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Namun seberapa efektif belanja Otsus mengurangi kemiskinan struktural, meningkatkan kualitas pendidikan, menyehatkan layanan dasar, dan mendorong produktivitas?. Pada 2025 tahun ketiga fase 1% sisa waktu Otsus tinggal sampai 2027. Artinya, tiga tahun ke depan adalah jendela kritis untuk mengunci manfaat jangka panjang.
Reintegration Dividend_: Pondasi yang Perlu Diperbarui
Pada fase awal pasca perdamaian, program reintegrasi mengalir melalui Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dan skema lainnya. Mulai dari pembayaran paket tunai kepada eks-kombatan, hingga dukungan bagi tahanan politik dan korban konflik. Pendekatan ini efektif sebagai _short-term stabilizer_. Namun reintegrasi sejati adalah perjalanan panjang, seperti transmisi keterampilan, akses modal produktif, dan pelibatan eks-kombatan dalam ekonomi lokal yang berkelanjutan. Dua dekade kemudian, sebagian pelaku masih rentan secara ekonomi menandakan kebutuhan “reintegrasi gelombang II” yang lebih fokus pada pekerjaan berkualitas, rantai pasok lokal, dan wirausaha produktif.
Ranah Kebijakan yang Tersendat: Simbol, Hukum, dan Tata Kelola
Menyoal Simbol pada ranah kebijakan yang _pertama_, Qanun 3/2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh memicu ketegangan dengan pemerintah pusat karena desain benderanya dinilai serupa simbol GAM. Perdebatan hukum dan politik berlangsung lama dan memunculkan ketidakpastian implementasi. Bagi warga, ini bukan sekadar simbol, ia terkait rasa dimiliki dan rekognisi. Namun, bagi rekonsiliasi nasional, ia menyentuh sensitivitas kedaulatan. Kebuntuan ini sebaiknya ditutup melalui perundingan berbasis hukum dan desain partisipatif agar simbol tak menyandera agenda substantif kesejahteraan.
_Kedua_, pada aspek hukum, Qanun Jinayat memperluas penerapan _hudud_/_uqubat_ di Aceh, termasuk _uqubat_ cambuk. Terlepas dari dasar kewenangan Otsus, pelaksanaannya kerap memantik kritik HAM internasional dan isu harmonisasi dengan hukum nasional. Kuncinya adalah menegakkan asas kepastian hukum, non-diskriminasi, dan _due process_, serta memastikan sanksi tidak menimbulkan perlakuan kejam/merendahkan martabat. Dan _ketiga_, pada aspek tata kelola yang mengacu pada keterbukaan dan akuntabilitas belanja publik, Aceh membutuhkan pelembagaan _public value_ untuk setiap rupiah Otsus, indikator keluaran dan luaran yang _measurable_, _value for money_, dan dampak sosial-ekonomi terukur.
Menakar Dua Dekade: Apa yang Sudah Kokoh, Apa yang Rapuh
Penghentian kekerasan menjadi indikator _pertama_ kekokohan Aceh pasca damai, tak ada kembali ke perang, arsitektur keamanan dan _confidence-building measures_ bekerja, misi internasional sukses menutup mandat. Dan _Kedua_, Normalisasi politik, kompetisi elektoral berjalan, partai lokal menjadi instrumen artikulasi kepentingan dan rotasi kekuasaan berlangsung.
Namun, tingkat kerapuhan Aceh pasca damai juga terlihat melalui beberapa aspek strategis, _pertama_, dalam Keadilan transisional, belum adanya Pengadilan HAM di Aceh bertentangan dengan Paal 259 UUPA dan menahan penyembuhan kolektif. _Kedua_, pada Kualitas belanja Otsus, kemiskinan masih dua digit, pengangguran di atas rata-rata nasional, human capital membaik namun belum terakselerasi. Dan _Ketiga_, Isu simbol & harmonisasi hukum, polemik bendera dan tarik-menarik Qanun tertentu menunjukkan _unfinished business_ rekognisi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan..
Rekomendasi Strategis: Mengunci “Perdamaian Positif” Tiga Tahun ke Depan
Paling tidak ada empat rekomendasi strategis yang dapat ditawarkan bagi Aceh dalam menjaga nafas perdamaian tiga tahun kedepan, _pertama_, menuntaskan pilar keadilan transisional dengan mengaktifkan Pengadilan HAM di Aceh berbasis adanya _roadmap_ regulasi hasil rumusan Pemerintah Aceh dan Pusat berbasis penetappan pengadilan sesuai UU 26/2000 dan UUPA, penguatan kapasitas penyidikan pro-justisia sesuai koridor nasional, dan seleksi kasus dengan memperhatikan hasil kerja KKR Aceh dan Komnas HAM. Mengacu pada peranan KKR Aceh pun, perlu diperkuat eksekusi rekomendasi melalui Qanun yang mewajibkan instansi menindaklanjuti dalam tenggat jelas, baik reparasi, layanan psikososial, rehabilitasi, jaminan pendidikan anak korban, dan memorialisasi, berikut sistem monitoring publik.
_Kedua_, jadikan sisa Otsus (2025-2027) sebagai _legacy window_, dengan memfokuskan 70–80% Otsus pada tiga aspek utama, yakni human capital (PAUD–SMA/SMK, kualitas pengajar, _learning recovery_, beasiswa, dan menghubungan dunia pendidikan vokasi dengan industri kerja), kesehatan dan gizi (eliminasi stunting, layanan primer kuat, dan sistem pelayanan kesehatan rujukan tertata), ekonomi produktif (hilirisasi pertanian/perikanan, rantai pasok terpadu, logistik, dan optimalisasi infrastruktur teknologi inti untuk UMKM). Dan terakhir yang tidak kalah penting, membangun portal publik Aceh yang memetakan keluaran tiap rupiah Otsus, dengan menampilkan rincian data kemiskinan, TPT, IPM, _learning loss_, _stunting_, dan produktivitas komoditas per Kabupaten/Kota dengan menggunakan kontrak kinerja lintas OPD yang berbasis indikator.
_Ketiga_, menyelesaikan isu Simbol lewat _legal-design_, moratorium langkah sepihak, bentuk Tim Kerja Khusus yang berisikan tokoh masyarakat dan akademisi untuk merancang simbol yang memenuhi UUPA dan peraturan nasional namun tetap merefleksikan identitas Aceh. Sebelum menetapkan desain final, lakukan harmonisasi dengan Kemenkumham dan/atau Kemendagri untuk mencegah adanya gugatan hukum pasca keputusan. Dan _keempat_, harmonisasi Qanun dan Perlindungan HAM, audit proses hukum yang semestinya terhadap implementasi Qanun Jinayat, terutama yang mengacu pada standar pembuktian, transparansi proses, dan treatment terhadap kelompok rentan. Berikut perlunya revisi teknis berbasis _human rights impact assessment_ bila ditemukan praktik yang melanggar asas non-diskriminasi atau menimbulkan perlakuan merendahkan martabat sehingga Otsus berjalan seiring dengan komitmen HAM.
Kesimpulan: Mewujudkan Fungsi Damai Sesungguhnya
Dua dekade setelah Helsinki, Aceh telah membuktikan bahwa konflik yang tampak tak berujung dapat diakhiri dengan perjanjian yang dirancang teliti dan dilaksanakan sungguh-sungguh. Kegagalan untuk kembali ke perang adalah capaian besar, tetapi “perdamaian positif” menuntut keadilan yang hadir, layanan publik yang bekerja, dan ekonomi yang menciptakan martabat.
Secara hukum, berjalannya UUPA memberi rambu jelas tentang pembagian kewenangan, pembiayaan (DBH/Otsus), dan kewajiban HAM (Pengadilan HAM, KKR). Secara data pun, kemiskinan memang turun, IPM naik, pengangguran menurun, tetapi masih ada jarak dari potensi Aceh yang sesungguhnya. Secara politik, tantangannya realistiss, elesaikan perkara simbol dan harmonisasi hukum agar energi elite tak habis di isu identitas.
Tiga tahun ke depan menjelang berakhirnya Dana Otsus adalah _legacy window_. Bila Aceh dan Pemerintah Pusat sepakat mengunci tiga agenda, yakni _pertama_, menuntaskan keadilan transisional sesuai mandat UUPA. _Kedua_, menajamkan belanja ke peningkatan _human capital_, kesehatan, dan ekonomi produktif. Dan _Ketiga_, merapikan regulasi simbol dan HAM, maka “perdamaian positif” bukan jargon akademik, melainkan realitas yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Aceh telah memenangkan babak pertama, membungkam senjata. Namun jauh lebih penting adalah menghadapi babak kedua, yakni membuat damai berfungsi dalam kehidupan sehari-hari.