BERITA RAKYAT ACEH | Banda Aceh- Dua dekade setelah penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005, masyarakat Aceh menikmati suasana damai yang jauh berbeda dibanding masa konflik bersenjata sebelumnya. Namun, peringatan 20 tahun perdamaian ini juga menjadi momen penting untuk mengevaluasi berbagai komitmen yang belum sepenuhnya terealisasi.
Apa yang Sudah Berjalan?
Perdamaian Aceh dinilai telah berhasil membawa stabilitas keamanan dan kehidupan sosial yang lebih baik. Praktisi hukum Aceh, Safaruddin, S.H., M.H.. menyampaikan bahwa secara umum semangat perdamaian telah terlaksana.
“Sudah berjalan lumayan baik. Bahkan, bisa dikatakan 100% dari semangat perdamaian telah dilaksanakan. Namun, dalam implementasi teknis, masih ada beberapa hal yang belum ditunaikan sesuai janji ,”ungkapnya Ketua YARA Aceh, Safaruddin, Jum’at (15/8).
Apa yang Masih Jadi PR?
Menurut Safaruddin, masih terdapat sejumlah komitmen penting dalam MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang belum dijalankan secara optimal. Beberapa di antaranya adalah:
Pertama : Penyelesaian Harta Benda Korban Konflik: Termasuk milik masyarakat sipil, aparat militer, dan mantan kombatan GAM yang belum mendapatkan kejelasan.
Kedua : Penetapan Batas Wilayah Aceh: Berdasarkan peta tahun 1956 yang hingga kini belum difinalisasi.
Ketiga: Pembentukan Pengadilan HAM dan KKR Aceh: Dua lembaga penting untuk keadilan transisional yang hingga kini belum beroperasi, meskipun telah diamanatkan secara hukum.
Keempat: Pengelolaan Migas dan Pertambangan: Sesuai PP No. 23 Tahun 2015, Aceh seharusnya memiliki peran strategis melalui Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA), namun implementasinya masih belum maksimal.
Kelima: Pengakuan Qanun Aceh dan Kewenangan Pertanahan: Beberapa qanun yang disahkan Pemerintah Aceh belum mendapat pengakuan pusat, dan pengalihan kewenangan pertanahan juga belum tuntas.
“Banyak peraturan pelaksana sudah ada, bahkan ada Peraturan Presiden. Tapi, pelaksanaan di lapangan belum jalan. Ini bisa menimbulkan kekecewaan masyarakat,” tegas Ketua DPD IKADIN Provinsi Aceh, Safaruddin.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Safaruddin menegaskan bahwa menjaga perdamaian Aceh adalah tanggung jawab kolektif, bukan hanya pemerintah pusat. Pemerintah Aceh, DPR Aceh, dan DPR RI dinilai harus lebih aktif dalam mengawal implementasi butir-butir MoU Helsinki.
“Kita di Aceh kadang terlalu nyaman berdiam diri. Suara rakyat seperti dari YARA memang ada, tapi tidak sekuat suara resmi pemerintah. Seharusnya Pemerintah Aceh bersama DPR mendorong agar keistimewaan Aceh dijalankan sebagaimana mestinya,” ujarnya.
Apa Harapan Safaruddin Ke Depan?
Safaruddin mendorong agar momentum 20 tahun perdamaian ini menjadi ajang evaluasi bersama. Ia mengajak semua pihak untuk meriview ulang poin-poin MoU dan memastikan implementasinya tidak lagi tertunda.
“Jika masih ada poin yang belum dijalankan, Presiden harus instruksikan jajarannya agar tidak mempersulit Pemerintah Aceh menjalankan otonomi khususnya,” tambahnya.
Bagaimana Kondisi Aceh Saat Ini?
Secara umum, lanjut Safaruddin, kondisi Aceh saat ini dinilai lebih aman dan damai dibanding era konflik. “Dulu kita harus bawa KTP ke mana-mana, dan itu seperti nyawa. Sekarang sudah jauh lebih aman. Itu berkah dari perdamaian,” kata Safaruddin.
Harapan Safaruddin:
Di usia 20 tahun perdamaian, Aceh telah menunjukkan bahwa konflik bersenjata bisa digantikan oleh dialog dan kerja sama. Namun, janji-janji yang belum ditepati harus menjadi prioritas agar kepercayaan publik tidak luntur.
Terakhir, kata Safaruddin, menutup dengan harapan besar: “Perdamaian ini harus dijaga oleh seluruh masyarakat Aceh dan diisi dengan kesejahteraan nyata. Jangan sampai ada lagi suara kekecewaan karena janji yang tidak ditepati.” Pungkas Safaruddin.
Penulis Repoter: Rani39
Editor : Imran Jhoni.