BERITA RAKYAT ACEH | Di tengah riuh pujian Pemerintah Aceh terhadap surat Menteri ESDM yang membuka ruang keterlibatan Aceh dalam pengelolaan migas hingga 200 mil laut, Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) memilih jalan berbeda. Bagi mereka, surat itu bukan terobosan, melainkan pengulangan pola lama: keterlibatan yang bersyarat, kewenangan yang dikerdilkan, dan semangat MoU Helsinki yang terus dikaburkan. Di saat birokrasi memilih syukur, YARA memilih gugatan.
Surat Menteri ESDM tertanggal 23 Oktober 2025 memang menyebut bahwa Aceh dapat terlibat dalam pengelolaan migas di wilayah laut di atas 12 mil melalui kerja sama antara SKK Migas dan BPMA. Pemerintah Aceh menyambutnya sebagai kemajuan. Namun YARA membaca dengan kacamata lain: keterlibatan bukanlah kewenangan, dan kerja sama bukanlah kesetaraan. Surat itu, menurut mereka, justru mengaburkan amanat Pasal 160 Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan memperlemah posisi BPMA sebagai lembaga teknokratik yang seharusnya mewakili kedaulatan energi Aceh.
Untuk memahami sikap YARA, kita perlu menelusuri jejak panjang perjuangan Aceh atas hak pengelolaan migasnya. Pada tahun 2013–2014, di bawah kepemimpinan Gubernur Zaini Abdullah, Pemerintah Aceh secara aktif menuntut agar Aceh diberi hak penuh untuk mengelola sumber daya migas, termasuk di wilayah laut hingga 200 mil. Tuntutan itu bukan tanpa dasar. Pasal 160 UUPA menyatakan bahwa pengelolaan sumber daya alam di Aceh dilakukan secara bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh. Dalam tafsir Aceh, “pengelolaan bersama” berarti kesetaraan, bukan subordinasi.
Namun Pemerintah Pusat saat itu bersikukuh bahwa wilayah laut di atas 12 mil adalah hak eksklusif nasional. Aceh dianggap hanya berhak atas wilayah pesisir. Setelah tekanan politik dan diplomasi, pusat bersedia membuka ruang kerja sama, tetapi tetap disertai syarat: penyesuaian simbol (termasuk bendera Aceh yang dianggap terlalu menyerupai bendera GAM), penyesuaian nomenklatur kelembagaan, dan pembatasan kewenangan BPMA agar tidak menyerupai SKK Migas.
Lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Migas Aceh menjadi titik kompromi. PP ini menetapkan bahwa Aceh memiliki kewenangan penuh atas wilayah laut hingga 12 mil, dan dapat ikut serta dalam pengelolaan wilayah di atas 12 mil. Pembagian hasil ditetapkan 30% untuk Aceh dan 70% untuk pusat—jauh dari tuntutan awal Aceh yang menginginkan 70:30. Meski tidak ideal, PP ini dianggap sebagai kemajuan dari sikap sentralistik sebelumnya.
Namun implementasi PP 23/2015 tidak berjalan mulus. Banyak blok migas di Aceh, seperti Kuala Simpang Barat, Kuala Simpang Timur, dan Rantau Perlak, hingga kini belum dialihkelola dari SKK Migas ke BPMA. Pemerintah Aceh tidak memiliki akses penuh terhadap data produksi dan pendapatan. Bahkan PT Pertamina EP disebut mengalihkan pengelolaan ke perusahaan lain melalui skema KSO tanpa melibatkan BPMA secara substansial.
Di sinilah YARA tampil sebagai aktor sipil yang konsisten dan strategis. Mereka tidak hanya mengirim surat desakan kepada Menteri ESDM dan Pj Gubernur Aceh, tetapi juga melaporkan kelambanan pejabat ke Mendagri, dan menggugat empat institusi sekaligus—Menteri ESDM, SKK Migas, BPMA, dan Pertamina EP—ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan itu kini masuk tahap mediasi. Bagi YARA, ini bukan sekadar advokasi, tetapi penegakan hukum dan pengingat bahwa hak rakyat Aceh atas sumber daya alam tidak boleh dikompromikan.
YARA melanjutkan semangat Zaini Abdullah, bukan dengan retorika, tetapi dengan arsip, gugatan, dan konsistensi. Mereka menolak lupa. Mereka menolak keterlibatan yang bersyarat. Mereka menolak narasi “pengelolaan bersama” yang hanya berarti pelaksanaan teknis tanpa kewenangan substantif. Di tengah birokrasi yang enggan dan simbolisme yang dikaburkan, YARA tetap menggugat.
Tulisan ini bukan sekadar pujian atas konsistensi YARA, tetapi juga undangan bagi masyarakat sipil Aceh untuk ikut menjaga api perjuangan yang belum padam. Migas bukan hanya soal energi, tetapi soal martabat, hak, dan sejarah yang belum selesai. []
