BERITA RAKYAT ACEH | Batam, Indonesia — Musyawarah Perencanaan Pembangunan Keistimewaan Aceh (Musrenbang-KA) Tahun 2025 yang berlangsung di Batam sejak 23 hingga 25 November 2025 menghadirkan agenda strategis terkait tata kelola kelembagaan keistimewaan Aceh. Gelaran ini menampilkan pemaparan kunci dari Rikie, S.STP, M.Si, Direktur Perencanaan Anggaran Daerah, Ditjen Bina Keuangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri.
Kepala Humas dan Kerja Sama Lembaga Wali Nanggroe, Zulfikar Idris, menyampaikan bahwa forum tersebut dibuka secara resmi oleh Wali Nanggroe Aceh, Paduka Yang Mulia Tgk. Malik Mahmud Al-Haythar, dan ditutup oleh Khatibul Wali, Abdullah Hasbullah.
Dalam pemaparannya, Rikie menegaskan bahwa penguatan Keistimewaan Aceh—termasuk penguatan kedudukan, kewenangan, dan pendanaan Lembaga Wali Nanggroe—memiliki dasar hukum yang kuat, baik pada tingkat nasional maupun daerah. Pemerintah Aceh, katanya, telah mengusulkan pemutakhiran klasifikasi, kodefikasi, dan nomenklatur perencanaan serta penganggaran daerah untuk memastikan dukungan anggaran yang tepat bagi fungsi kelembagaan tersebut.
“Usulan Pemerintah Aceh telah kami proses secara komprehensif, dan sebagian besar telah diakomodasi melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Tahun 2023,” ujar Rikie.
Ia juga menekankan bahwa sejumlah perubahan kebijakan nasional membawa implikasi penting bagi struktur APBD, termasuk pembatasan belanja pegawai maksimal 30 persen, demi memperbaiki akuntabilitas dan efektivitas pengelolaan keuangan daerah.
“Penyesuaian ini tidak hanya untuk selaras dengan kebijakan nasional, tetapi juga untuk memastikan tata kelola lembaga keistimewaan Aceh berjalan transparan, akuntabel, dan berkelanjutan,” tambahnya.
Isu Zakat, Infak, Sedekah, Wakaf (ZISWAF) dan pengelolaan harta keagamaan lainnya turut menjadi fokus diskusi. Pemerintah menilai perlunya penguatan regulasi dan penyempurnaan nomenklatur untuk memastikan tata kelola ZISWAF di Aceh berjalan lebih tertib, transparan, dan sesuai prinsip syariat.
Selain Pemerintah Aceh, Pemerintah Kota Sabang juga mengajukan pemutakhiran nomenklatur agar hak keuangan lembaga-lembaga keistimewaan Aceh—seperti Majelis Adat Aceh, masuk secara resmi dalam sistem penganggaran daerah. Seluruh usulan tersebut telah difinalisasi melalui berita acara kesepahaman antara pemerintah daerah dan Kemendagri.
“Keistimewaan Aceh bukan hanya harus dihormati, tetapi juga ditopang dengan sistem anggaran yang tepat, terstruktur, dan sesuai koridor hukum. Kementerian Dalam Negeri siap melanjutkan kolaborasi erat dengan Lembaga Wali Nanggroe, dan Pemerintah Aceh untuk memastikan hal tersebut,” tutup Rikie.[]
