Sentuhan Lembut Illiza dan Kupu-Kupu yang Tak Lagi Terbang

BERITA RAKYAT ACEH I Banda Aceh – Seperti kisah mengharukan antara Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan seorang PSK yang menangis di pelukannya, Banda Aceh kini menyimpan cerita tak kalah pilu. Kisah itu datang dari Es (22), seorang gadis muda yang terjaring razia syariat Islam di salah satu penginapan kawasan Peunayong, Banda Aceh.

Es bukan siapa-siapa. Hanya seorang anak sulung dari delapan bersaudara, yang terpaksa menanggalkan harga diri demi menyambung hidup keluarganya. Saat ditemui Berita Rakyat Aceh di Kantor Satpol PP dan WH Kota Banda Aceh, Kamis (17/04/2025), Es tak ragu untuk bercerita. Wajahnya tenang. Senyumnya lembut.

“Saya memiliki adik delapan orang. Mamak tidak kerja, karena adik-adik masih kecil. Saya tidak punya pilihan lain selain cari uang dengan cara ini”. ucap Es lirih.

Yang menarik, dari enam perempuan yang tertangkap dalam razia, Es satu-satunya yang dengan berani menjawab semua pertanyaan langsung dari Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal. Tanpa malu, tanpa banyak alasan, Es menjawab jujur dan tulus.

“Saya sangat senang dengan ibu wali kota. Beliau tidak marahi kami. Bahkan ketika kami dibawa, beliau sendiri yang menutup wajah saya dengan jilbab. Rasanya seperti diperlakukan oleh ibu saya sendiri”. tuturnya haru.

Es mengaku ingin berubah jika diberi kesempatan. Ia siap meninggalkan masa lalu demi kehidupan yang lebih baik, asal adik-adiknya tetap bisa makan.

Tangisan Seorang Ibu

Kisah pilu Es tak berhenti di kantor pemerintahan. Tim redaksi kemudian menjumpai ibunda Es, Umi (44), di sebuah warung kopi di kawasan Setui. Dengan suara bergetar, Umi bercerita bahwa Es adalah anak yang penurut dan sangat bertanggung jawab.

Baca Juga:  Plt Sekda Aceh Jemput Kedatangan Mendagri di Aceh

“Waktu kecil dia tinggal dengan neneknya, karena saya tidak sanggup urus semua anak. Ayahnya sudah meninggal dunia. Saat besar, dia pulang dan bantu jaga adik-adiknya. Kalau dia pulang pagi, pasti sudah bawa belanja dan langsung masak. Setelah semua makan, baru dia tidur “.

Umi mengaku tak pernah tahu pekerjaan anaknya yang sebenarnya.

“Dia bilang kerja laundry malam hari. Saya baru tahu setelah kawannya bilang dia ditangkap. Saya marah sekali, sempat saya tampar dia saat menjenguk. Tapi saya juga sadar, mungkin ini jalan Allah menyelamatkan dia”.

Umi memohon kepada Pemerintah Kota agar memberi anaknya kesempatan kedua. “Tolong bimbing anak kami, ibu wali kota. Kami mohon, jadikan dia kebanggaan kami.”

Menjadi Lilin dalam Gelap

Es hanyalah satu wajah dari banyak perempuan muda yang terjebak dalam pusaran kemiskinan. Ia bukan kriminal, bukan pelaku kejahatan. Ia korban dari sistem yang gagal menjamin kesejahteraan.

Ia memilih menjadi lilin: membakar diri agar adik-adiknya tetap bisa merasakan terang.

Razia syariat Islam adalah bentuk penegakan moral, tapi tidak akan menyelesaikan akar persoalan. Bila perut menjadi alasan seseorang menjual kehormatan, maka tanggung jawab pemerintah adalah lebih dari sekadar razia.

Kini saatnya kita semua, dari wali kota hingga anggota DPRK, dari ulama hingga masyarakat, duduk bersama mencari solusi. Dana pokok pikiran (pokir) yang begitu besar bisa menjadi harapan bagi mereka yang butuh pegangan hidup – seperti Es.

Illiza telah menunjukkan hati seorang ibu dalam tubuh pemimpin. Dan Banda Aceh, kota syariat yang bermartabat, seharusnya jadi tempat yang aman bagi kupu-kupu seperti Es – yang tak lagi ingin terbang di malam gelap.

Baca Juga:  Presiden Prabowo: Mualem, Saya masih Punya Hutang, Saya Janji akan ke Aceh

Semoga kedepan, tak ada lagi Es berikutnya.(ran)

Oleh: CHAIRAN – Berita Rakyat Aceh