Mayjen TNI (Purn) Abdul Hafil Fuddin Akan Luncurkan Buku

Aceh Lon Sayang
Bermoral, Bermartabat dan Berbudaya untuk Aceh Mulia

Penutup

BERITA RAKYAT ACEH l Banda Aceh – Sebagai penulis buku ini, saya memiliki harapan yang sangat mendalam untuk Aceh, tanah kelahiran yang telah membentuk jati diri saya. Dengan segala keindahan alam, kekayaan budaya, dan sejarah yang kaya, Aceh sebenarnya memiliki potensi luar biasa untuk menjadi provinsi yang maju dan sejahtera. Namun, di balik segala kekayaan itu, ada tantangan besar yang harus kita hadapi bersama, khususnya dalam aspek moralitas, martabat, dan budaya. Buku ini saya tulis sebagai panggilan untuk memandang kembali dan merenung, bukan hanya mengenai apa yang telah kita capai, tetapi juga apa yang perlu kita perjuangkan untuk masa depan Aceh.

Sebagai orang yang lahir dan besar di Aceh, saya menyaksikan bagaimana perubahan zaman membawa dampak besar bagi masyarakat kita, terutama bagi generasi muda. Saya menyaksikan perubahan yang memprihatinkan dalam aspek moral dan sosial di Aceh. Dulu, Aceh dikenal sebagai Serambi Mekkah, tempat di mana syariat Islam dan budaya luhur bersatu dalam kehidupan sehari-hari. Namun, kini kita menghadapi kenyataan pahit: Narkoba merajalela, pergaulan bebas mengancam, dan moralitas generasi muda mulai tergerus. Ini adalah tantangan besar yang tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Buku ini lahir dari keprihatinan tersebut. Saya menulis bukan hanya untuk mengkritik, tetapi untuk mendorong kita semua, baik pemimpin, ulama, tokoh adat, maupun masyarakat, untuk kembali pada nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita. Kita tidak bisa membiarkan Aceh kehilangan jati dirinya.

Kita harus kembali menumbuhkan martabat dan moralitas dalam kehidupan sehari-hari. Kita harus kembali menghidupkan budaya Aceh yang penuh dengan nilai kesantunan, kebersamaan, dan gotong-royong.

Baca Juga:  Syukuran Hari Kemerdekaan RI, Polres Aceh Tamiang Gelar Zikir Akbar dan Doa Bersama

Apa yang saya inginkan melalui buku ini adalah agar setiap pembaca, terutama masyarakat Aceh, mulai merenung dan bertindak. Jika kita ingin melihat Aceh bangkit, kita harus mulai dari diri kita sendiri. Setiap orang memiliki peran dalam membangun kembali moralitas dan martabat Aceh. Melalui pendidikan yang berbasis pada akhlak dan agama, kita bisa mencetak generasi muda yang tidak hanya cerdas dalam ilmu pengetahuan, tetapi juga kuat dalam moral dan integritas. Kita harus kembali menjadikan nilai-nilai agama sebagai pedoman hidup yang nyata dalam kehidupan sosial kita, bukan hanya sebagai simbol semata.

Saya juga ingin mengajak kita semua untuk kembali menjaga dan merawat budaya Aceh. Budaya Aceh yang kaya dengan tradisi seperti Peusijuek, Seudati, dan hikayat adalah bagian dari identitas kita yang harus dilestarikan. Di tengah arus globalisasi yang terus berkembang, kita tidak boleh membiarkan budaya kita terkikis. Sebaliknya, kita harus memperkuat akar budaya tersebut dengan menghidupkan kembali tradisi-tradisi tersebut di kehidupan sehari-hari, terutama di kalangan generasi muda.

Aceh memiliki segala potensi yang dibutuhkan untuk menjadi provinsi yang mulia, tidak hanya dari segi kekayaan alamnya, tetapi juga dari segi moralitas dan budaya. Apa yang dibutuhkan adalah keteladanan dan komitmen kita untuk menjaga dan mengembangkan potensi tersebut.

Jika kita semua bersatu untuk tujuan ini, saya yakin Aceh akan kembali menjadi tanah yang penuh dengan harapan, martabat, dan kebanggaan.

Akhirnya, melalui buku ini, saya berharap dapat memberi kontribusi positif dalam mengingatkan kita semua tentang pentingnya nilai moral, martabat, dan budaya dalam kehidupan kita sebagai masyarakat Aceh. Saya percaya, dengan cinta, kesadaran, dan kerja nyata, Aceh akan kembali menjadi tempat yang mulia dan dihormati oleh dunia. (habis)

Baca Juga:  Ratusan ASN dan Masyarakat Gelar Satu Jam Memungut Sampah di Makam Panglima Polem