In Memoriam Hasan Ditiro: Mengamalkan Amanah Sang Wali Dalam Menjaga Hutan Aceh

In Memoriam Hasan Ditiro: Mengamalkan Amanah Sang Wali Dalam Menjaga Hutan Aceh

Musrafiyan, S.H., M.H
Pengacara Lingkungan

”Peuseulamat uteuen Atjeh, sabab uteuen nyan nakeuh salah saboh pusaka keuneubah endatu nyang akan tapulang keu aneuk tjutjo geutanjoe di masa uke.”
Wali Nanggroe, Tengku Hasan Muhammad di Tiro (Stockholm, Swedia, 15 Juni 2009)

Amanah Wali Nanggroe bukan sekadar petuah adat atau pesan nostalgia dari masa lalu. Ia adalah seruan yang menggema melintasi ruang dan waktu, menegaskan bahwa “Uteun Atjeh” bukan milik kita hari ini saja, melainkan pusaka warisan dari leluhur yang harus tetap utuh hingga sampai kepada keturunan kita di masa depan.

Tanggal 3 Juni selalu menjadi momen reflektif bagi masyarakat Aceh. Tanggal ini memperingati wafatnya Teungku Hasan Muhammad di Tiro, tokoh legendaris yang memproklamirkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 4 Desember 1976. Hasan ditiro bukan hanya simbol perlawanan terhadap ketidakadilan, tetapi juga pemikir, negarawan, dan seorang Wali yang memiliki pandangan jauh ke depan tentang masa depan Aceh. Dalam setiap warisan pemikirannya, beliau tidak hanya berbicara tentang politik dan kedaulatan, tetapi juga tentang pelestarian sumber daya alam, terutama hutan Aceh.

Kini, ketika kita menyebut nama Hasan Ditiro, pertanyaan yang harus kita ajukan bukan hanya tentang apa yang telah ia perjuangkan, tetapi juga bagaimana kita mengamalkan amanahnya. Di antara amanah-amanah itu, salah satunya yang sangat mendesak adalah menjaga hutan Aceh dari kehancuran.

Hutan Aceh: Warisan Alam dan Budaya

Hutan Aceh bukan sekadar ruang hijau di peta geografis. Ia adalah rumah bagi ribuan spesies flora dan fauna endemik. Ia adalah penyimpan air, pengatur iklim, dan penghasil oksigen. Ia juga adalah tempat hidup komunitas adat dan mukim yang telah menjaga hutan secara turun-temurun. Namun, dalam dekade terakhir, hutan Aceh semakin terancam. Pembalakan liar, pertambangan ilegal, konversi hutan menjadi perkebunan sawit, serta lemahnya pengawasan dan penegakan hukum telah menyebabkan deforestasi masif.

Baca Juga:  Aspek Perpajakan Terhadap Penyelenggara Jasa Pendidikan

Hasan Ditiro dan Filosofi Alam

Bagi Hasan Ditiro, kemerdekaan Aceh bukan hanya urusan politik dan identitas, tetapi juga menyangkut hak atas tanah, air, dan hutan. Dalam berbagai tulisan dan pidato, ia menekankan pentingnya kemandirian Aceh dalam mengelola sumber daya alamnya. Ia percaya bahwa hanya dengan menjaga alamnya, Aceh dapat mandiri secara ekonomi, sosial, dan budaya.

Sebagai Wali Nanggroe, Hasan Ditiro pernah mengingatkan bahwa tugas utama pemimpin adalah melindungi warisan untuk generasi masa depan. Hutan Aceh termasuk di dalamnya. Ia menolak eksploitasi besar-besaran oleh korporasi yang tidak berpihak kepada rakyat dan lingkungan. Ia mendambakan sebuah Aceh yang makmur karena kelestarian alamnya, bukan karena menjual masa depannya kepada investor.

Wali Nanggroe Hari Ini: Meneruskan Amanah atau Menyimpang?

Sejak Hasan Ditiro menyerahkan tongkat estafet Wali Nanggroe kepada Malik Mahmud Al Haytar, lembaga Wali Nanggroe secara formal menjadi bagian dari struktur pemerintahan Aceh berdasarkan Qanun Nomor 8 Tahun 2012 yang saat ini menjadi Qanun Nomor 10 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Lembaga Wali Nanggroe. Dalam posisinya sebagai penjaga adat, budaya, dan marwah Aceh, lembaga ini memikul tanggung jawab moral dan historis untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup Aceh.

Namun, tantangan besar dihadapi. Proyek-proyek besar seperti pembukaan jalan tembus di Kawasan Ekosistem Leuser, izin pertambangan yang mengancam DAS (Daerah Aliran Sungai), hingga lemahnya kontrol terhadap perambahan hutan masih menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas. Meski beberapa langkah positif telah diambil, seperti upaya penguatan pengelolaan hutan adat mukim dan wacana pembentukan Badan Khusus Pengelola Hutan Aceh itu semua belum cukup menjawab laju kerusakan yang terjadi.

Baca Juga:  Serambi Mekah: Menelisik Akar Perhajian di Tanah Air untuk Tri Sukses Haji

Jalan Pengamalan: Dari Kata ke Aksi

Untuk benar-benar mengamalkan amanah Hasan Ditiro, diperlukan langkah konkret dan sistematis. Beberapa langkah berikut ini penting untuk dipertimbangkan dan dilaksanakan; pertama, penegasan posisi Wali Nanggroe sebagai Pelindung Lingkungan, lembaga Wali Nanggroe harus mengeluarkan fatwa lingkungan atau dekrit khusus yang menegaskan bahwa merusak hutan adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah perjuangan Aceh. Kedua, penguatan hutan adat mukim, pengakuan hutan adat mukim tidak boleh berhenti di atas kertas. Pemerintah Aceh dan Wali Nanggroe harus mendorong percepatan pengesahan SK Hutan Adat Mukim di seluruh kabupaten/kota dan memastikan hak kelola benar-benar berada di tangan masyarakat.

Ketiga, aliansi strategis dengan Ulama, Cendekiawan, dan CSO/NGO, sebab lembaga adat dan agama harus dilibatkan dalam edukasi publik. Hutan bukan hanya urusan lingkungan, tapi juga akhlak dan amanah agama. Keempat, pembaruan paradigma pembangunan, Aceh harus keluar dari paradigma pembangunan yang menempatkan alam sebagai objek eksploitasi. Perlu pendekatan pembangunan hijau berbasis keberlanjutan dan kearifan lokal. Dan kelima, transparansi dan partisipasi, semua izin kehutanan, tambang, dan pembangunan infrastruktur yang menyentuh kawasan hutan harus dibuka kepada publik dan melibatkan masyarakat lokal dalam proses perizinan dan pengawasan.

Apa Kabar Warisan Sang Wali?

Menuju 20 tahun sejak damai Helsinki dan 15 tahun sejak kepergian Hasan Ditiro, kita harus bertanya perihal apakah amanah Sang Wali sudah terjalankan? Apakah kita menjaga tanah ini sebagai anugerah Tuhan, atau malah menggadaikannya demi keuntungan sesaat?

Jika Hasan Ditiro hidup hari ini, ia mungkin tidak akan bertempur dengan senjata, tapi ia akan berdiri di barisan terdepan menyuarakan keadilan ekologis. Ia akan membela masyarakat adat yang mempertahankan hutannya. Ia akan mengecam pejabat yang memberi izin tambang di kawasan lindung. Ia akan menyerukan bahwa kemerdekaan tidak berarti apa-apa jika air sungai keruh, udara penuh asap, dan hutan tinggal nama.

Baca Juga:  Empat Pulau, Harga Diri Aceh: Saatnya Bangkit Menolak

Menghidupkan Warisan, Menjaga Alam

Warisan terbesar Hasan Ditiro bukanlah kemerdekaan yang belum terwujud dalam bentuk negara, melainkan kesadaran kolektif tentang harga diri, martabat, dan tanggung jawab. Menjaga hutan Aceh adalah bentuk tertinggi dari pengamalan ajaran Hasan Ditiro. Ia adalah bentuk cinta kepada bumi yang melahirkan kita, kepada leluhur yang mendahului kita, dan kepada anak cucu yang akan mewarisi jejak kita.