Oleh: Ari Syuhada Putra, S. Farm., Apt,
Pengawas Farmasi dan Makanan Ahli Muda BPOM Aceh
Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang luar biasa, dan Aceh adalah salah satu permata terbesarnya. Salah satu komoditas unggulan dari tanah Serambi Mekkah ini adalah minyak nilam, yang telah lama dikenal sebagai bahan dasar parfum kelas dunia. Tapi ironisnya, sebagian besar proses pengolahan dan nilai tambah dari nilam masih dinikmati oleh negara lain.
Melalui episode kelima podcast Berbisik, BPOM Aceh membuka ruang refleksi dan diskusi kritis soal bagaimana membangun ekosistem kemandirian obat dan makanan, dimulai dari potensi lokal yang sering kali diabaikan.
Kak Nadya dari ARC Universitas Syiah Kuala menyebutkan bahwa minyak nilam dari Aceh memiliki kualitas terbaik di dunia. Produk turunannya tidak hanya untuk parfum, tetapi juga dapat dikembangkan sebagai bahan baku skincare, sunscreen, bahkan antidepresan alami. Namun untuk mengolahnya secara mandiri dan berkelanjutan, dibutuhkan lebih dari sekadar semangat—dibutuhkan ekosistem yang terstruktur dan kolaboratif.
“Sayang sekali prosesnya tidak dilakukan di Indonesia, padahal kualitas minyak nilam kita sudah cukup bagus,” ujar Nadya.
Di sinilah peran BPOM sebagai fasilitator regulasi menjadi sangat penting. Kak Liza dari tim sertifikasi BPOM Aceh menyoroti bahwa pendampingan kepada UMKM bukan hanya berhenti sampai izin edar terbit, tapi berlanjut hingga ke tahap pasca-perizinan.
“Setelah dapat izin edar, kita bantu jembatani UMKM ke lembaga keuangan, seperti BSI atau BI, supaya produknya punya pasar yang lebih luas,” ungkap Liza.
Perspektif Kak Liza menggarisbawahi pendekatan holistik BPOM: bukan hanya sebagai badan pengawas, tapi juga sebagai mitra strategis UMKM. UMKM yang sebelumnya kesulitan mengakses permodalan atau memahami prosedur perizinan, kini didampingi dari awal hingga bisa memasarkan produknya secara legal dan kompetitif.
Lebih lanjut, Liza menegaskan bahwa membangun ekosistem kemandirian adalah cita-cita bersama. Harapannya, dari hulu ke hilir—mulai dari riset akademik, produksi bahan baku, proses manufaktur, hingga distribusi dan pengawasan—semuanya bisa dilakukan di dalam negeri. Dengan kata lain, Indonesia tidak hanya menjadi produsen bahan mentah, tetapi juga pengolah dan pemilik nilai tambah.
“Intinya adalah bagaimana kita dari lokal bisa provide dari hulu ke hilir. Mulai dari akademisi melakukan riset, hasilnya bisa diolah oleh industri, dan BPOM mengawal perizinan dan pengawasannya,” jelas Liza.
Pernyataan ini menjadi pesan kuat bahwa kemandirian bukan retorika, melainkan sebuah proses kolaboratif lintas sektor. Pemerintah, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat harus duduk bersama membangun infrastruktur, regulasi, dan sistem distribusi yang mendukung pertumbuhan industri lokal.
Dan semua itu bisa dimulai dari satu titik: percaya pada potensi sendiri.
Aceh dengan nilamnya, dengan semangat UMKM-nya, dan dengan dukungan BPOM sebagai mitra penguatan sistem—mampu menjadi model ekosistem kemandirian nasional yang bisa direplikasi di seluruh Indonesia.