BERITA RAKYAT ACEH | Banda Aceh, 17/11 — Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) Provinsi Aceh, Miftahul Jannah S.T., mendorong Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Aceh untuk lebih agresif menghadirkan destinasi wisata baru yang beragam dan berkarakter. Selama ini, Aceh memang telah dikenal luas sebagai salah satu daerah tujuan wisata halal unggulan di Indonesia. Namun, menurut ASITA Aceh, pengembangan destinasi baru menjadi langkah penting untuk menjaga daya saing sekaligus menarik lebih banyak wisatawan domestik maupun mancanegara.
Aceh memiliki potensi besar di berbagai sektor wisata — mulai dari bahari di pulau-pulau terluar, panorama pegunungan, hingga kekayaan budaya dan kuliner khas — yang belum tergarap optimal. ASITA Aceh berharap Pemerintah Daerah dapat mengambil langkah lebih berani dan inovatif dalam mengembangkan potensi tersebut.
“Kami berharap Pemerintah Daerah tidak hanya fokus pada pemeliharaan destinasi yang sudah ada, tapi juga mulai membuka ruang bagi lahirnya destinasi baru yang lebih kreatif dan punya daya tarik tinggi. Aceh ini punya potensi luar biasa, tapi kalau tidak ada pembaharuan, wisatawan bisa saja datang sekali lalu tidak kembali. Karena itu, kami ingin Pemerintah Daerah lebih berani berinovasi dan memberikan dukungan nyata untuk pengembangan sektor ini,” ujar Miftahul Jannah S.T., yang akrab disapa Ita Thaib.
ASITA Aceh mencatat, di sejumlah daerah masih terbatas penambahan objek wisata baru. Banda Aceh, misalnya, dinilai masih berfokus pada revitalisasi destinasi lama tanpa terobosan baru yang signifikan. Padahal, banyak kawasan di Aceh memiliki potensi besar — mulai dari wisata bahari dan sejarah di Aceh Besar hingga kekayaan budaya dan kearifan lokal seperti nilai Smong di Simeulue yang kini diabadikan melalui Tugu Smong sebagai simbol edukasi kebencanaan dan identitas masyarakat setempat. ASITA Aceh menilai potensi ini dapat menjadi daya tarik unggulan jika dikelola secara profesional dengan dukungan infrastruktur dan promosi yang terpadu.
“Dalam pengamatan kami di Aceh, memang masih minim destinasi baru yang muncul. Banyak daerah kabupaten dan kota di Aceh, termasuk Banda Aceh, masih fokus memperbaiki yang sudah ada tanpa mencoba hal yang berbeda. Padahal Aceh Besar, misalnya, punya potensi luar biasa seperti Pulau Nasi, Pulau Breueh, dan Pulau Bunta. Ketiganya memiliki pantai alami, spot selam, serta situs sejarah seperti mercusuar William Toren yang bisa menjadi daya tarik besar kalau dikelola dengan baik. Selain itu, daerah lain seperti Simeulue juga memiliki potensi wisata berbasis kearifan lokal, seperti nilai-nilai Smong yang tidak hanya menjadi simbol kebencanaan, tetapi juga identitas budaya yang bisa diangkat sebagai wisata edukatif dan heritage khas Aceh. Kami berharap pemerintah daerah bisa membuka akses, memperbaiki infrastruktur, dan menyiapkan promosi yang lebih terpadu supaya destinasi-destinasi ini bisa dikenal lebih luas, bukan hanya di tingkat lokal tapi juga nasional bahkan internasional,” tambah Ita Thaib, yang juga merupakan Pembina Yayasan Advokasi Rakyat Aceh.
Selain mendorong inovasi destinasi, ASITA Aceh juga terus memperkuat ekosistem pariwisata di Aceh. Upaya ini dilakukan melalui berbagai bentuk kolaborasi dan promosi berkelanjutan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Salah satunya ialah menjalin kerja sama dengan Solidarity Association For Travel & Tours Agency (SAFFTA) Malaysia dalam kegiatan Global Tabletop Networking, sebagai langkah memperluas jejaring pariwisata Aceh ke pasar global.
“ASITA Aceh saat ini aktif memperkuat ekosistem pariwisata Aceh dengan mendorong kolaborasi lintas negara. Melalui kerja sama dengan SAFFTA Malaysia dalam Global Tabletop Networking, kami berupaya memperluas jejaring dan memperkenalkan potensi wisata Aceh di kancah internasional. Kami ingin memastikan bahwa pengembangan pariwisata Aceh tidak hanya berfokus pada keindahan alam, tetapi juga membawa nilai budaya, kearifan lokal, dan semangat kerja sama global,” tambah Ita Thaib.
Untuk mewujudkan hal tersebut, ASITA Aceh menekankan pentingnya dukungan kebijakan dari Pemerintah Daerah, baik melalui regulasi maupun insentif yang mendorong pengembangan sektor pariwisata secara menyeluruh. Selain membuka peluang bagi lahirnya destinasi baru, dukungan pemerintah juga dibutuhkan untuk memperkuat fasilitas dan layanan di destinasi yang sudah ada agar lebih siap mengakomodasi wisatawan. ASITA menilai, langkah seperti peningkatan aksesibilitas, penyediaan infrastruktur, dan sinergi lintas-instansi menjadi kunci agar pertumbuhan pariwisata Aceh berlangsung lebih inovatif dan berkelanjutan.
“Kami berharap ada dukungan nyata dari Pemerintah Daerah, baik dalam bentuk regulasi maupun insentif, untuk mendorong pengembangan destinasi baru secara lebih konkret, sekaligus memastikan optimalisasi destinasi yang sudah ada agar mampu mengakomodasi wisatawan dengan baik. Dukungan akses transportasi, infrastruktur dasar, serta kolaborasi lintas-instansi antara dinas pariwisata, kebudayaan, dan lembaga keagamaan sangat dibutuhkan. Jika langkahnya terarah dan sinerginya kuat, kami yakin Aceh bisa menghadirkan destinasi wisata yang bukan hanya menarik secara visual, tetapi juga memiliki nilai edukatif, spiritual, dan ekonomi bagi masyarakat. Dengan dukungan pemerintah dan pelaku industri, kami optimistis Aceh akan semakin kuat sebagai salah satu destinasi wisata unggulan di Indonesia,” tutup Ita Thaib.
