BERITA RAKYAT ACEH | Australia –
Gubernur Aceh melalui Badan Reintegrasi Aceh (BRA) yang diwakili oleh Jamaluddin, SH, MKn melakukan pertemuan intensif dengan staf kedutaan besar Australia yang diwakili oleh Hannah Derwent – Counsellor Human Development, Renee Bryant – First Secretary Economic, Kate Fletcher – Second Secretary Politic, dan Syafrizal – Political Officer di Kedutaan Besar Australia. Pertemuan tersebut membahas beberapa isu penting untuk pembangunan berkelanjutan di Aceh. Melalui ketua BRA Mualem menitipkan tiga isu penting untuk dibahas, yakni pendidikan, pelatihan dan peternakan.
Jamaluddin yang didampingi oleh tim teknis T. Murdani, PhD menyampaikan bahwa kondisi Aceh saat ini sangat kondusif untuk berinvestasi. Aceh memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah, namun memiliki masaalah pada sumber daya manusia sehingga tidak mampu mengkonfersi kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat oleh. Oleh karena itu Jamaluddin berharap pemerintah Australia bersedia berinvestasi dalam bidang Pendidikan, khususnya memberikan kemudahan bagi putra-putri Aceh untuk melanjutkan sekolah ke Australia baik strata satu, master, ataupun program doctor. Kalau tidak bisa disemua bidang, sekurang-kurangnya dalam beberapa bidang yang sangat dibutuhkan oleh Aceh saat ini seperti Perindustrian, perminyakan, pertambangan, dan sebagainya.
Selain itu Aceh juga sangat membutuhkan Balai Latihan Kerja yang memiliki standard tenaga kerja negara-negara berkembang seperti Australia. Kondisi ini dianggap penting agar nantinya diharapkan putra/putri Aceh memiliki skills yang mumpuni untuk berpartisipasi dalam pembangunan Aceh dan memiliki kemampuan untuk bekerja di Australia. BLK ini juga nantinya mampu memberikan kesempatan bagi mantan kombatan dan para korban konflik untuk ikut berpartisipasi sebagai salah satu upaya untuk menyelesaikan konflik Aceh secara menyuluruh, bermartabat dan berkelanjutan.
Topik penting lainnya dalam pertemuan tersebut adalah potensi penggemukan sapi di Aceh, hal ini mencermati bahwa Aceh memiliki kondisi alam yang sangat hijau sebagai modal utama dalam melakukan peternakan dan penggemukan sapi sepanjang tahun. Disamping itu Aceh berada di posisi yang sangat strategis yaitu sebagai pintu gerbang perdagangan internasional di jalur Samudera Hindia. Aceh merupakan provinsi di Indonesia yang sangat dekat dengan jalur pelayaran internasional dan adanya pelabuhan bebas Sabang membuka peluang besar untuk menjadikan Aceh sebagai hub penggemukan sapi.
Aceh juga dikenal daerah yang paling halal di Indonesia dalam bidang produksi makanan, sehingga sangat berpotensi untuk menjual sapi hidup, daging, maupun produk turunan seperti rendang atau Sie Reuboeh ke Timur Tengah khususnya Arab Saudi. Disamping hubungan Aceh dengan Arab Saudi telah melalui berbagai dinamika dan warna tersendiri semenjak berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam, sehingga Aceh dikenal dengan Serambi Mekkah. Aceh merupakan satu-satunya komunitas yang memiliki aset di Arab Saudi yakni sebuah hotel yang telah diwakafkan untuk kepentingan ibadah Haji yaitu “Baitul ‘Asyi”. Dengan demikian Aceh memiliki kesempatan yang sangat baik untuk menginisiasi kembali hubungan dengan Arab Saudi maupun negara-negara Timur Tengah lainnya khususnya dalam bidang export sapi atau daging sapi.
Sebagaimana diketahuai kebutuhan daging sapi di kawasan Timur Tengah terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk, peningkatan standar hidup, serta faktor religius (kebutuhan daging halal yang berkualitas tinggi). Kebutuhan sapi saat pelaksaan ibahdah haji untuk membayar denda karena berbagai pelanggaran ibadah juga sangat besar, begitu pula ketika umat islam di Timur Tengah melakukan ibadah qurban. Dengan kondisi alam di Timur Tengah tentunya sangat sulit untuk melakukan baik peternakan maupun penggemukan sapi. Sementara Indonesia, khususnya memiliki alam yang sangat hijau.
Dengan berbagai kondisi tersebut tentunya Aceh merupakan kawasan yang sangat strategis untuk mengembangkan Economic Power house, dengan mendatangkan bibit sapi bakalan dari Australia, melakukan proses penggemukan (fattening) di Aceh, kemudian mengekspor daging sapi segar maupun sapi hidup ke Timur Tengah dalam upaya menggerakan ekonomi (economic powerhouse) baru bagi Aceh dan Indonesia.
Ibu Hannah Derwent selaku Counsellor Human Development menyambut baik inisiatif gubernur Aceh dan mejelaskan bahwa saat ini pemerintah Australia sudah banyak terlibat dalam membantu pemerintah Aceh. Saat ini pemerintah Australia sedang menjalankan berbagai program bantuan di Aceh melalui SKALA dan berkomitmen untuk terus membantu Aceh. Menyangkut beasiswa Ibu Hannah berjanji akan mencari Solusi agar dapat membantu anak-anak Aceh agar dapat melanjutkan studinya ke Australia.
Sementara Renee Bryant selaku First Secretary of Economic menyampaikan bahwa pemerintah Australia sangat senang dengan inisiatif program penggemukan sapi. Dia menjelaskan bahwa ramai para peternak di Australia yang berkeinginan untuk berinvestasi di Indonesia, namun memiliki kendala di regulasi.
Menanggapi kondisi ini Jamaluddin selaku ketua BRA menyampaikan bahwa Aceh memiliki kekhususan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh Bersifat Desentralisasi yang memiliki kewenangan untuk melakukan Kerjasama dengan pihak luara negeri dan untuk saat ini pemerintah Aceh yang dikomandoi oleh Mualem berkomitmen untuk mempermudah proses pengurusan berbagai izin yang dibutuhkan investor.
Mendengar informasi tersebut Renee Bryant menyampaikan akan mengkomunikasikannya dengan asosiasi peternak sapi di Australia. Sebagai aksi nyata Renee akan mengirimkan undangan kepada gubernur Aceh dan ketua BRA untuk hadir dalam acara investment submit yang akan dilaksanakan di Bali pada tanggal 27 Oktober nanti sekaligus mempertemukannya secara langsung dengan para peternak sapi dari Australia. Renee dalam kesempatan tersebut juga menyampaikan tahun depan akan mengundang gubernur Aceh dan ketua BRA melalui program short course untuk berkunjung langsung ke Australia untuk melihat model peternakan dan penggemukan sapi di Australia.