Catatan Perjalanan Jurnalis Imran Jhoni Mantan Wartawan Atjeh Post/Peristiwa

“Dikeker Laser Senjata di Tengah Malam”

BERITA RAKYAT ACEH I Awal Januari 1990. Seusai mencetak koran Atjeh Post/Peristiwa di Harian Mimbar Umum, Jalan Sudirman, Medan—sekitar pukul 20.00 WIB—kami bergegas menuju Banda Aceh dengan mobil sewaan L-300.

Saya merangkap wartawan dan desainer. Karena belum ada sistem digital saat itu, layout harus saya bawa langsung ke percetakan. Dalam perjalanan itu, saya ditemani Dedy PAW, manajer desain asal Jakarta, serta sopir. Kami bagian dari jaringan Surya Persindo Group milik Surya Paloh.

Tiap kabupaten sudah punya titik distribusi: mulai dari Aceh Tamiang, Langsa, Lhoksukon, hingga Lhokseumawe. Di Bireuen, selepas menurunkan koran, kami sempat beristirahat, makan sate, dan menyeruput kopi. Sekitar pukul 02.00 WIB, kami tiba di Keude Jeunib.

Suasana mencekam. Sebuah warung kopi masih buka, beberapa bus parkir. Sopir-sopir memperingatkan, “Jangan lewat dulu, baru saja terjadi kontak senjata antara Brimob dan GAM.” Kami menunggu sekitar 30 menit.

Saat mulai melaju pelan, tiba-tiba lampu padam. Sekitar 200 meter di depan, kami dihadang pasukan Brimob. Salah satu dari mereka menodongkan senjata ke kepala saya, dengan sinar laser mengarah ke dahi.

“Wartawan, Pak,” saya cepat menjawab.

“Turun!” bentaknya sambil menarik kerah jaket saya. Mereka memeriksa isi mobil, meminta kami membuka pintu belakang.

“Kami dari Medan, bawa koran ke Banda Aceh,” jelas saya, sambil menyerahkan beberapa eksemplar.

Setelah pemeriksaan, kami diizinkan melanjutkan perjalanan. Subuh, kami tiba di Banda Aceh. Alhamdulillah, selamat. Inilah sepenggal kisah perjuangan jurnalis melintasi malam dan konflik. (*)

Note – Tulisan ini dalam rangka menyambut 20 tahun ‘damai’ Aceh.