BERITA RAKYAT ACEH I Oleh Ahmad Mirza Safwandy.
Saat menjadi menteri BUMN, ia tidak ketat dengan protokoler. Ia masih sangat mudah untuk dihubungi. Jika berkunjung ke daerah, tidak harus bermalam di hotel berbintang. Ia pernah menginap di Dayah, di perbatasan Banda Aceh-Aceh Besar pada tahun yang saya lupa. Bahkan juga pernah menginap di rumah seorang teman di kawasan Geuceu, Banda Aceh.
Dayah atau pesantren tidak asing bagi Dahlan Iskan. Ia adalah alumni Pesantren Sabilil Muttaqin, Magetan, Jawa Timur.
Pada tahun 2013, Ia memenuhi undangan Fuad Hadi dan Tarmizi serta ribuan kader Serikat Muda Aceh Barat (SAMBA).
Kini, Fuad Hadi jadi pengusaha sukses di bidang yang tak biasa, sedangkan Tarmizi menjadi Bupati Aceh Barat, kepala daerah yang mencuri perhatian publik saat ini.
Ucapan tokoh yang akrab disapa Abah yang masih menetap adalah tentang semangat untuk terus bangkit.
“Sesekali jadilah film kartun: dijepit, digilas, bangkit lagi.”
Ketika masih menjadi menteri atau setidak-tidaknya ceo media, Dahlan terbiasa mengenakan pakaian sederhana. Bahkan ketika turun ke daerah, hanya pakaian yang melekat di badan ditambah satu rompi kasual. Tanpa koper dan barang lain yang harus berada di bagasi pesawat.
Bahkan sebelum kemeja putih celana panjang hitam menjadi “dresscode politiknya” mantan presiden, gaya serupa sudah dikenakan oleh Dahlan.
Ia sosok egaliter. Pengalaman itu saya rasakan ketika ia hadir dalam acara talk show terkenal, dan saya menemaninya, ia meminta saya duduk di sampingnya.
“Anda duduk di sini.”
Saya pun duduk di kursi itu, di ruang tunggu jelang siaran pada program stasiun televisi swasta. Ternyata ia membaca gelagat saya yang risih menempati tempat duduk di ruang itu. Ia lalu mengatakan:
“Anda manusia, semua kita sama dan Anda berhak duduk di kursi ini.”
Terus terang saya merasa inferior, karena ada menteri, tokoh yang juga pengamat ekonomi terkenal, dan artis yang berada di ruangan itu. Tapi tidak dengan Dahlan, ia mengenalkan kami dengan narasumber lainnya dan host acara. Ia seperti sedang mengajarkan arti kesetaraan, penghormatan dalam persahabatan. Terkadang itu terlihat kecil, hanya soal tempat duduk, tapi menjadi pelajaran berharga bagi saya.
Bertahun-tahun setelahnya saya jadi tahu, ternyata itu sunnah nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Ada hadist yang datang dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang di antara kalian menyuruh berdiri lainnya dari tempat duduknya kemudian ia sendiri duduk di situ. Tetapi berikanlah keluasan tempat serta kelapangan (pada orang lain yang baru datang).”
Tahun 2017 saya berkunjung ke Surabaya. Ia kaget, tiba-tiba saya di depan teras rumahnya. Jauh-jauh dari Aceh khusus ke Surabaya.
Ia meminta waktu untuk menyelesaikan tulisan yang akan dimuat dalam Catatan Dahlan Iskan. Dan meminta ke Tondy untuk mengajak saya ke Persebaya Store.
“Kita nonton Persebaya, kipernya orang Aceh, Anda cari kostum Persebaya di Graha Pena.”
Tondy adalah anak sambung Darek Manangka, wartawan senior, mantan Pemred RCTI yang meninggal dunia pada tahun 2018. Selain ke Persebaya Store, Tondy mengajak saya berkeliling Graha Pena.
Setelah memilih kaos dan syal bertuliskan PERSEBAYA, kami kembali ke rumah Dahlan. Penampilan saya serba hijau, sudah siap menjadi “bonek” dadakan. Laskar rencong yang tiba-tiba jadi bonek.
Setiba saya, Dahlan bersama anak dan menantu sudah bersiap untuk berangkat.
“Kita langsung berangkat, ya. Tatang yang nyetir. Anda duduk di depan, Isna di belakang.”
Saya merasa tidak enak, dan menawarkan diri untuk duduk di kursi paling belakang, Agar Tatang dan Isna bisa bersebelahan.
“Saya duduk di kursi belakang aja, Abah.”
“Tidak, Anda hari ini tamu saya, Anda duduk di depan.”
Sedang Dahlan duduk di tengah bersama seorang pengacara senior, yang baru saja tiba dari Jakarta. Sebelum menuju Stadion Gelora Bung Tomo (GBT), kami mampir di sebuah restoran. Pemilik restoran terlihat sangat akrab dengan Dahlan, bahkan ia dan para staf
ikut berswafoto dengan Dahlan. Lalu saya ikut dikenalkan dengan pemilik rumah makan itu.
Di tempat itu, sepertinya Dahlan bertemu dengan orang penting yang belum pernah saya kenal. Saya mencoba menepi duduk di meja lain. Dahlan tak mengizinkannya. Maka saya pun ikut semeja dengan orang penting itu, ramah pula.
Kami duduk di meja makan dengan bentuk bundar, dan di tengahnya terdapat papan bundar dengan diameter lebih kecil. Saya jadi tahu dari Dahlan ternyata meja bundar yang bisa diputar ini memiliki nama.
“Meja bundar ini namanya lazy susan atau dumb waiter.”
“Anda pasti sudah tahu artinya, pelayan bisu.”
Setelah makan siang, kami menuju GBT. Dua kilometer sebelum stadion sudah terlihat lautan bonek yang menggunakan motor dan berjalan kaki. Dahlan membuka kaca mobil, Tatang menurunkan kecepatan. Dahlan menyapa para bonek. Semuanya senang disapa Dahlan. Jarak stadion sudah sangat dekat, jalan semakin macet. Mengetahui Dahlan yang sedang lewat, terdengar sahut-sahutan para bonek, “Buka jalan, buka jalan!”
Dahlan setengah berkelakar. “Di sini, jadi bonek itu sejak bayi.”
Hari itu Persebaya menang, persis seperti prediksi Dahlan sebelum pertandingan dimulai. Bos Persebaya, Azrul Ananda turun ke lapangan merayakan kemenangan dan mengucapkan selamat kepada pemain dan menyapa para bonek yang berada di tribun stadion.
Dahlan menoleh saya dan berkata, ada orang Aceh yang menjadi bagian dari kemenangan Persebaya.
“Kemenangan ini atas partisipasi orang Aceh.”
Memang benar yang dikatakan Dahlan. Miswar Saputra, kiper andalan Persebaya putra Aceh yang pernah memperkuat PSSB Bireun dan Persiraja Banda Aceh.
Setiap Dahlan berkunjung ke Aceh ia selalu diterima dengan baik, oleh ulama, Pemerintah Aceh, Perguruan Tinggi dan komunitas lainnya.
Bagi kami orang Aceh, Dahlan bukan sekadar dihormati karena media cetak yang bernama “Rakyat Aceh”, tapi Dahlan dengan kebijakan di masanya, berperan penting dalam kebijakan BUMN yang telah menyulap kilang gas alam cair (Liqufied Natural Gas/LNG) Arun Aceh menjadi terminal penyimpanan dan regastifikasi, kebijakan ini sangat menguntungkan Aceh.
Bayangkan, seandainya terminal gas di bangun di daerah lain atau membangun kapal seperti di teluk Jakarta. Jelas hal itu tidak memberi manfaat ekonomi bagi Aceh. Kebijakan di masa Dahlan lah yang membuat Arun tidak jadi besi tua dan menjadi kenangan kota petro dollar. Bahkan prospeknya ke depan diprediksi menjadi dominan di tingkat domestik dan regional.
“Peran Arun dengan lokasi yang sangat strategis akan memberikan competitive advantage. Berada di Zona Ekonomi ekslusif serta flexibility operasi juga merupakan nilai tambah Arun,”Kata Chairman Indonesia Gas Society Aris Mulya Azof pada bulan Januari tahun lalu.
Sekitar bulan Oktober 2024 Dahlan kembali mengunjungi Aceh. Ia sangat ingin jumatan di Mesjid Baiturrahim, Ulee Lheue, Banda Aceh. Mesjid ini menjadi saksi kedahsyatan tragedi tsunami di Aceh. Saya bersama Mirza Dekyang, kami melihat Dahlan betapa khusuk berdoa.
Dahlan lagi-lagi mengunjungi Aceh atas undangan Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Universitas Teuku Umar (UTU) Meulaboh, dan Pemerintah Aceh.
Kehadirannya pada ajang Aceh International Forum (AIF) 2024 di Banda Aceh, 23-25 Desember 2024 lalu. Forum ini mengusung tema “Religion, Togetherness, and Humanity” yang digelar untuk memperingati 20 tahun tragedi tsunami Aceh 2004.
Sepengetahuan saya, Dahlan tidak pernah menolak setiap undangan ke Aceh, bahkan ketika harus memenuhi undangan AIF itu ia bersedia menyesuaikan dengan kesibukan dan jadwal lainnya di luar negeri.
Suatu waktu di hadapan anak muda Aceh Barat, kala masih jadi menteri, Dahlan mengaku selalu menceritakan Aceh di forum luar negeri.
“Setiap saya melakukan kunjungan kerja sampai ke luar negeri, Aceh saya ceritakan dan selalu menjadi salah satu daerah percontohan keberhasilan proyek BUMN di Indonesia,”
Setiap kali saya terhubung dengan Dahlan, ia bertanya keadaan Aceh. Terakhir kali ia meneruskan sebuah pesan tentang Thai canal atau Terusan Kra, analisis geopolitik dan Aceh.
Saya jadi teringat Teuku Mahfud, di PIN Komputer miliknya, sembari menunggu hard disk terisi penuh, kami mendiskusikan hal itu, delapan belas tahun lalu.
“Dulu pasca tsunami, imaginasinya seperti itu, Abah. Terusan Kra bisa memberikan dampak positif untuk Aceh. Tetapi kita sadar kemajuan bukan hanya sekadar berada dalam jalur maritim. Lagi-lagi dibutuhkan kepemimpinan semacam “Deng Xiaoping” kecil, tapi versi bersyariat dan pro dengan moderenisasi.”
“Saya setuju dengan Anda”.
Seminggu ini banyak yang bertanya, informasi tersebar di media: Dahlan Iskan tersangka, yang nyatanya belum ada keterangan resmi. Di negara hukum, langkah-langkah penegakan hukum mesti dihormati. Selain adanya kewajiban penegak hukum untuk melindung hak-hak seluruh pihak, sebagaimana makna due process of law yang kita pahami.
Apa pun yang sempat mendera Dahlan sebelum ini, terbukti tidak meruntuhkan karakter dan reputasinya. Justru ia terus hidup dalam setiap kata dan dalam silaturahminya, pada setiap tempat yang memuliakan pikiran, kebaikan dan kemanusiaan.
Sebagai umat beragama, kita meyakini, ujian bisa mendatangi orang-orang beriman, dan bisa mendatangi orang-orang baik. Sebaik-baiknya manusia dan seberat-beratnya yang diuji adalah nabi dan rasul.
Bahkan salah satu ulama yang paling mashsyur, Imam Ahmad bin Hanbal pernah dipenjara karena memilih jalan berbeda, sehingga menerima tekanan dan berbagai penyiksaan. Tapi namanya tidak saja harum sepanjang masa, melainkan menjadi salah satu mazhab atau metode dalam fiqih.
Dahlan memang bukan nabi dan rasul, bukan pula ulama. Masih hidup dan tidak maksum. Tapi ia pernah tulus bekerja untuk negara dan bangsa. Ia rela meninggalkan tempat yang ia besarkan dan telah memberikannya lebih dari rasa cukup dengan risiko tak pernah bisa kembali lagi ke posisi itu selamanya.
Dalam dunia penulisan dan pers ia memberi pengaruh bagi generasi muda untuk terus belajar, gaya menulisnya seperti menjadi mazhab baru dalam kurikulum menulis. Penulis sekaligus Pengamat Politik Aceh Risman Rachman pernah mengatakan, dalam menulis, ia ikut dipengaruhi oleh gaya menulisnya Dahlan. Risman adalah guru bagi penulis muda di Aceh.
Di masa ia dalam pemerintahan, Dahlan menjadi solusi untuk setiap harapan, untuk setiap perjuangan tokoh-tokoh Aceh yang merasa perlu menghadirkan terminal penyimpanan dan regastifikasi Arun.
Diakui Mantan Wakil Ketua Tim Pemantau Otsus Aceh dan Papua DPR RI, Marzuki Daud, rakyat Aceh bersyukur atas terwujudnya pembangunan terminal gas Arun tersebut.
“Saya bersama Mas Priyo dan kawan-kawan lainnya, juga ada Pak Pj Gubernur Tarmizi Karim, kehadiran terminal gas Arun tidak terlepas dari peran Pak Dahlan Iskan.”
Tiba-tiba saya jadi teringat Dahlan Iskan. Lalu menulis ini sebatas yang saya ketahui tentangnya, ini nyata, tentang Dahlan Iskan di mata orang Aceh.
*) Penulis adalah Pendiri Media aceHTrend yang sedang nonaktifduduk di tengah bersama seorang pengacara senior, yang baru saja tiba dari Jakarta. Sebelum menuju Stadion Gelora Bung Tomo (GBT), kami mampir di sebuah restoran. Pemilik restoran terlihat sangat akrab dengan Dahlan, bahkan ia dan para staf ikut berswafoto dengan Dahlan. Lalu saya ikut dikenalkan dengan pemilik rumah makan itu.
Di tempat itu, sepertinya Dahlan bertemu dengan orang penting yang belum pernah saya kenal. Saya mencoba menepi duduk di meja lain. Dahlan tak mengizinkannya. Maka saya pun ikut semeja dengan orang penting itu, ramah pula.
Kami duduk di meja makan dengan bentuk bundar, dan di tengahnya terdapat papan bundar dengan diameter lebih kecil. Saya jadi tahu dari Dahlan ternyata meja bundar yang bisa diputar ini memiliki nama.
“Meja bundar ini namanya lazy susan atau dumb waiter.”
“Anda pasti sudah tahu artinya, pelayan bisu.”
Setelah makan siang, kami menuju GBT. Dua kilometer sebelum stadion sudah terlihat lautan bonek yang menggunakan motor dan berjalan kaki. Dahlan membuka kaca mobil, Tatang menurunkan kecepatan. Dahlan menyapa para bonek. Semuanya senang disapa Dahlan. Jarak stadion sudah sangat dekat, jalan semakin macet. Mengetahui Dahlan yang sedang lewat, terdengar sahut-sahutan para bonek, “Buka jalan, buka jalan!”
Dahlan setengah berkelakar. “Di sini, jadi bonek itu sejak bayi.”
Hari itu Persebaya menang, persis seperti prediksi Dahlan sebelum pertandingan dimulai. Bos Persebaya, Azrul Ananda turun ke lapangan merayakan kemenangan dan mengucapkan selamat kepada pemain dan menyapa para bonek yang berada di tribun stadion.
Dahlan menoleh saya dan berkata, ada orang Aceh yang menjadi bagian dari kemenangan Persebaya.
“Kemenangan ini atas partisipasi orang Aceh.”
Memang benar yang dikatakan Dahlan. Miswar Saputra, kiper andalan Persebaya putra Aceh yang pernah memperkuat PSSB Bireun dan Persiraja Banda Aceh.
Setiap Dahlan berkunjung ke Aceh ia selalu diterima dengan baik, oleh ulama, Pemerintah Aceh, Perguruan Tinggi dan komunitas lainnya.
Bagi kami orang Aceh, Dahlan bukan sekadar dihormati karena media cetak yang bernama “Rakyat Aceh”, tapi Dahlan dengan kebijakan di masanya, berperan penting dalam kebijakan BUMN yang telah menyulap kilang gas alam cair (Liqufied Natural Gas/LNG) Arun Aceh menjadi terminal penyimpanan dan regastifikasi, kebijakan ini sangat menguntungkan Aceh.
Bayangkan, seandainya terminal gas di bangun di daerah lain atau membangun kapal seperti di teluk Jakarta. Jelas hal itu tidak memberi manfaat ekonomi bagi Aceh. Kebijakan di masa Dahlan lah yang membuat Arun tidak jadi besi tua dan menjadi kenangan kota petro dollar. Bahkan prospeknya ke depan diprediksi menjadi dominan di tingkat domestik dan regional.
“Peran Arun dengan lokasi yang sangat strategis akan memberikan competitive advantage. Berada di Zona Ekonomi ekslusif serta flexibility operasi juga merupakan nilai tambah Arun,”Kata Chairman Indonesia Gas Society Aris Mulya Azof pada bulan Januari tahun lalu.
Sekitar bulan Oktober 2024 Dahlan kembali mengunjungi Aceh. Ia sangat ingin jumatan di Mesjid Baiturrahim, Ulee Lheue, Banda Aceh. Mesjid ini menjadi saksi kedahsyatan tragedi tsunami di Aceh. Saya bersama Mirza Dekyang, kami melihat Dahlan betapa khusuk berdoa.
Dahlan lagi-lagi mengunjungi Aceh atas undangan Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Universitas Teuku Umar (UTU) Meulaboh, dan Pemerintah Aceh.
Kehadirannya pada ajang Aceh International Forum (AIF) 2024 di Banda Aceh, 23-25 Desember 2024 lalu. Forum ini mengusung tema “Religion, Togetherness, and Humanity” yang digelar untuk memperingati 20 tahun tragedi tsunami Aceh 2004.
Sepengetahuan saya, Dahlan tidak pernah menolak setiap undangan ke Aceh, bahkan ketika harus memenuhi undangan AIF itu ia bersedia menyesuaikan dengan kesibukan dan jadwal lainnya di luar negeri.
Suatu waktu di hadapan anak muda Aceh Barat, kala masih jadi menteri, Dahlan mengaku selalu menceritakan Aceh di forum luar negeri.
“Setiap saya melakukan kunjungan kerja sampai ke luar negeri, Aceh saya ceritakan dan selalu menjadi salah satu daerah percontohan keberhasilan proyek BUMN di Indonesia,”
Setiap kali saya terhubung dengan Dahlan, ia bertanya keadaan Aceh. Terakhir kali ia meneruskan sebuah pesan tentang Thai canal atau Terusan Kra, analisis geopolitik dan Aceh.
Saya jadi teringat Teuku Mahfud, di PIN Komputer miliknya, sembari menunggu hard disk terisi penuh, kami mendiskusikan hal itu, delapan belas tahun lalu.
“Dulu pasca tsunami, imaginasinya seperti itu, Abah. Terusan Kra bisa memberikan dampak positif untuk Aceh. Tetapi kita sadar kemajuan bukan hanya sekadar berada dalam jalur maritim. Lagi-lagi dibutuhkan kepemimpinan semacam “Deng Xiaoping” kecil, tapi versi bersyariat dan pro dengan moderenisasi.”
“Saya setuju dengan Anda”.
Seminggu ini banyak yang bertanya, informasi tersebar di media: Dahlan Iskan tersangka, yang nyatanya belum ada keterangan resmi. Di negara hukum, langkah-langkah penegakan hukum mesti dihormati. Selain adanya kewajiban penegak hukum untuk melindung hak-hak seluruh pihak, sebagaimana makna due process of law yang kita pahami.
Apa pun yang sempat mendera Dahlan sebelum ini, terbukti tidak meruntuhkan karakter dan reputasinya. Justru ia terus hidup dalam setiap kata dan dalam silaturahminya, pada setiap tempat yang memuliakan pikiran, kebaikan dan kemanusiaan.
Sebagai umat beragama, kita meyakini, ujian bisa mendatangi orang-orang beriman, dan bisa mendatangi orang-orang baik. Sebaik-baiknya manusia dan seberat-beratnya yang diuji adalah nabi dan rasul.
Bahkan salah satu ulama yang paling mashsyur, Imam Ahmad bin Hanbal pernah dipenjara karena memilih jalan berbeda, sehingga menerima tekanan dan berbagai penyiksaan. Tapi namanya tidak saja harum sepanjang masa, melainkan menjadi salah satu mazhab atau metode dalam fiqih.
Dahlan memang bukan nabi dan rasul, bukan pula ulama. Masih hidup dan tidak maksum. Tapi ia pernah tulus bekerja untuk negara dan bangsa. Ia rela meninggalkan tempat yang ia besarkan dan telah memberikannya lebih dari rasa cukup dengan risiko tak pernah bisa kembali lagi ke posisi itu selamanya.
Dalam dunia penulisan dan pers ia memberi pengaruh bagi generasi muda untuk terus belajar, gaya menulisnya seperti menjadi mazhab baru dalam kurikulum menulis. Penulis sekaligus Pengamat Politik Aceh Risman Rachman pernah mengatakan, dalam menulis, ia ikut dipengaruhi oleh gaya menulisnya Dahlan. Risman adalah guru bagi penulis muda di Aceh.
Di masa ia dalam pemerintahan, Dahlan menjadi solusi untuk setiap harapan, untuk setiap perjuangan tokoh-tokoh Aceh yang merasa perlu menghadirkan terminal penyimpanan dan regastifikasi Arun.
Diakui Mantan Wakil Ketua Tim Pemantau Otsus Aceh dan Papua DPR RI, Marzuki Daud, rakyat Aceh bersyukur atas terwujudnya pembangunan terminal gas Arun tersebut.
“Saya bersama Mas Priyo dan kawan-kawan lainnya, juga ada Pak Pj Gubernur Tarmizi Karim, kehadiran terminal gas Arun tidak terlepas dari peran Pak Dahlan Iskan.”
Tiba-tiba saya jadi teringat Dahlan Iskan. Lalu menulis ini sebatas yang saya ketahui tentangnya, ini nyata, tentang Dahlan Iskan di mata orang Aceh.
*) Penulis adalah Pendiri Media aceHTrend yang sedang nonaktif