BERITA RAKYAT ACEH | Banda Aceh – Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Aceh menyayangkan langkah Rektor Universitas Syiah Kuala (USK), Prof Marwan, yang melaporkan Teuku Abdul Hanan, penulis opini di media daring AJNN, ke pihak berwajib. Pelaporan tersebut dinilai kontraproduktif dengan nilai-nilai kebebasan berpendapat dan budaya akademik.
Ketua JMSI Aceh, Hendro Saky, mengatakan tindakan itu sangat disesalkan, apalagi dilakukan oleh seorang profesor sekaligus pimpinan tertinggi di perguruan tinggi terbesar di Aceh. “Bagaimana mungkin kebebasan berpendapat dikriminalisasi? Opini tersebut disampaikan secara objektif dan bersandar pada keilmuan penulis,” ujarnya, dalam keterangannya pada Rabu, 2 Juli 2025.
Menurutnya, seorang rektor yang bergelar profesor semestinya memiliki pandangan luas serta kebijaksanaan dalam menyikapi kritik. Gelar akademik yang tinggi, kata Hendro, justru mencerminkan keterbukaan terhadap berbagai gagasan dan pendapat.
“Seorang ilmuwan itu wajar jika kritis terhadap persoalan di masyarakat, bangsa, dan negara. Ironis sekali jika malah anti-kritik,” tegasnya.
Hendro juga menekankan bahwa opini yang ditulis Teuku Abdul Hanan dipublikasikan melalui perusahaan media yang tunduk pada Undang-Undang Pers, bukan di media sosial. Karena itu, menggunakan instrumen hukum seperti UU ITE untuk memproses opini dinilai bertentangan dengan semangat kebebasan pers.
“Opini itu produk pers yang keberadaannya dilindungi undang-undang. Bukan sesuatu yang bisa dibungkam seenaknya hanya karena isinya tidak disukai,” ujarnya.
Sebagai pemimpin kampus, lanjut Hendro, Prof Marwan seharusnya mendorong budaya diskusi terbuka dan kritik konstruktif di lingkungan civitas akademika, bukan justru memberi contoh pelaporan yang berpotensi memberangus kebebasan berpendapat.
“Kriminalisasi terhadap pengkritik bukan hanya mencoreng reputasi seorang profesor, tetapi juga menciderai kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi,” katanya.
Hendro mengajak Prof Marwan untuk mempertimbangkan kembali pelaporan tersebut dan membuka ruang dialog dengan pihak-pihak terkait. “Sekarang ini apa-apa sedikit lapor. Padahal kita punya budaya warung kopi sebagai sarana menyelesaikan persoalan dengan cara yang lebih bijak,” pungkasnya.***