Oleh: Difa Mutia Dara
(Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara)
Pencucian uang bukan lagi sekadar cerita kelam di film-film kriminal. Di balik wajah ramah pelaku bisnis properti, investasi, atau bahkan aktivitas politik, bisa jadi mengalir uang haram yang berasal dari kejahatan besar: korupsi, perdagangan narkotika, eksploitasi sumber daya alam ilegal, hingga penipuan digital. Indonesia sebenarnya telah memiliki instrumen hukum yang cukup kuat untuk melawan kejahatan ini, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Namun, realitasnya menunjukkan bahwa sistem Anti Money Laundering (AML) kita masih jauh dari kata efektif. Banyak pelaku kelas kakap justru lolos, sementara sistem hanya menyasar aktor-aktor kecil yang mudah dikorbankan.
Masalah mendasarnya bukan pada ketiadaan hukum, melainkan pada lemahnya penegakan dan rendahnya keberanian untuk menelusuri hingga ke akar. Modus pencucian uang saat ini berkembang sangat meluas. Tidak hanya lewat transaksi bank, tetapi juga melalui investasi fiktif, pendirian perusahaan cangkang (shell companies), hingga pembelian aset atas nama orang lain (nominee). Bahkan lebih ironis lagi, uang kotor itu kerap digunakan untuk membiayai aktivitas politik, termasuk pendanaan kampanye yang pada akhirnya menghasilkan kebijakan yang berpihak pada kepentingan para pelaku kejahatan keuangan itu sendiri. Sistem demokrasi dan ekonomi kita diracuni secara perlahan dari dalam oleh uang-uang haram yang telah “diputihkan”.
Lubang besar dalam sistem AML Indonesia terletak pada sejumlah aspek krusial. Pertama, masih lemahnya integrasi dan kolaborasi antara lembaga seperti PPATK, OJK, Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK dalam berbagi dan memanfaatkan data keuangan secara real-time. Kedua, kesulitan aparat penegak hukum dalam membuktikan tindak pidana asal (predicate crime), yang membuat banyak kasus TPPU tidak pernah menyentuh aktor intelektual. Ketiga, sektor non-keuangan seperti notaris, pengacara, akuntan, dan agen properti masih minim pengawasan padahal sangat rawan dijadikan alat pencucian uang. Keempat, minimnya vonis yang menjatuhkan pidana maksimal atau penyitaan penuh terhadap aset hasil pencucian uang, menandakan masih lemahnya efek jera dalam penegakan hukum. Dan kelima, belum optimalnya penerapan asas pembalikan beban pembuktian, padahal asas ini sangat penting dalam perkara-perkara kejahatan keuangan di mana aset hasil kejahatan lebih mudah dibuktikan ketimbang asalnya.
Bandingkan dengan negara seperti Singapura yang memiliki Suspicious Transaction Reporting Office (STRO) yang mampu bertindak cepat dan efektif dalam menyita aset mencurigakan hanya dalam waktu 48 jam setelah laporan transaksi mencurigakan diajukan. Inggris bahkan telah melangkah lebih maju dengan mengadopsi Unexplained Wealth Order (UWO), yang memaksa seseorang membuktikan legalitas kekayaan bila gaya hidupnya tidak sebanding dengan penghasilannya. Model ini efektif menekan para oligarki dan pelaku white-collar crime karena menempatkan beban pembuktian pada pihak yang memiliki aset tak wajar. Mengapa Indonesia tidak segera meniru model semacam ini?
Dibutuhkan reformasi mendalam untuk menutup celah sistemik yang ada. Pertama, revisi UU TPPU perlu segera dilakukan agar secara eksplisit mengatur pembalikan beban pembuktian dan memperluas ruang lingkup pelaporan wajib untuk sektor non-keuangan. Kedua, pemerintah harus membuka akses data keuangan lintas institusi dengan kerangka digital forensik yang canggih, sehingga deteksi dini bisa dilakukan sebelum aset berpindah ke luar negeri. Ketiga, publikasi vonis terhadap pelaku TPPU kelas kakap harus ditingkatkan agar menciptakan efek jera sekaligus memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya uang kotor. Keempat, dibutuhkan unit forensik keuangan digital di setiap Kejaksaan Tinggi dan Bareskrim untuk menganalisis dan membongkar skema pencucian uang berbasis teknologi modern. Tanpa itu, kita akan selalu tertinggal satu langkah dari para pelaku.
Lebih dari itu, negara harus menempatkan agenda pemberantasan TPPU sebagai prioritas utama dalam upaya menjaga kedaulatan ekonomi dan sistem demokrasi. Uang haram yang lolos dari jerat hukum bukan hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga menghancurkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Ketika publik melihat seorang pejabat atau pengusaha yang kekayaannya tidak masuk akal tetap bebas melenggang tanpa sanksi hukum yang setimpal, maka di sanalah kita melihat hukum mulai kehilangan wibawanya. Pencucian uang adalah bentuk korupsi paling tersembunyi dan berbahaya. Ia menyusup secara halus namun menghancurkan tatanan sosial, ekonomi, dan politik dari dalam. Jika kita tidak segera melakukan reformasi menyeluruh terhadap sistem AML, maka bukan mustahil Indonesia akan menjadi mesin pencuci uang raksasa di kawasan Asia Tenggara. Sudah saatnya kita tidak hanya mengejar ikan kecil, tapi juga menjerat hiu-hiu besar yang berenang bebas di lautan kekuasaan.