Mengenal Alat Tradisional Penggiling Kopi Aceh yang Masih Bertahan

Jingki alat tradisional penggiling kopi Aceh yang amsih digunakan sebagian orang. (ist)

BERITA RAKYAT ACEH l Aceh Besar – Meski zaman sudah canggih, peralatan seperti alat penggilingan kopi yang dulunya dianggap sudah usang mulai ditinggalkan. Karena dinilai memperlambat proses produksi. Sebagian mulai beralih ke mesin khusus penghalus biji kopi.

Namun, alasan itu tidak berlaku bagi Wunca, salah seorang pemilik penggilingan biji kopi di Desa Lamreung, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Kabupaten Aceh Besar. Ia masih mempertahankan proses penggilingan menggunakan cara dan alat tradisional.

Industri rumahan pengolahan biji kopi menjadi bubuk yang digelutinya secara turun temurun sejak 25 Tahun yang lalu, masih setia menemaninya dalam mencari rezeki.

Seperti menggunakan alat penggongseng kopi, berupa drum ukuran kecil memiliki kapasitas 20 kilogram yang diputar dengan cara manual menggunakan besi sebagai penopangnya. Alat itu diputar hingga 2,5 jam diatas bara api.

Setelah itu, biji kopi yang sudah gosong di dinginkan sebelum masuk ke penggilingan dengan cara ditumbuk. Alat penumbuk biji kopi tradisional khas Aceh seperti Jingki, masih digunakan.

Jingki adalah sebuat alat tradisional yang terbuat dari kayu pilihan yang terdapat di hutan Aceh, dulu digunakan untuk menumbuk padi, beras, sagu, biji kopi dan lainnya.

Cara kerja jingki adalah digerakkan dengan kaki pada titik tumpang yang lebih keujung sehingga akan mengangkat ujungnya yang satu lagi dan memberikan pukulan yang kuat.

Pada ujung pengungkit dipasang suatu kerangka terdiri atas dua bagian tegak lurus yang di hubungkan oleh kayu as (penggerak) horizontal. Sehingga membuat jeungki akan naik turun. Sedangkan di titik ujung untuk menumbuk lesung digunakan Alu.

Alat inilah yang digunakan Wunca setiap hari untuk menumbuk biji kopi yang sudah di gongseng. “Untuk menumbuk biji kopi supaya halus membutuhkan waktu sekitar 30 menit,” katanya beberapa waktu lalu.

Baca Juga:  Selamat Hari Pariwisata Sedunia: Ayo Lestarikan Keindahan Alam dan Budaya Aceh!

Setelah ditumbuk, biji kopi yang masih kasar itu disaring dengan alat sederhana. Setelah itu baru diberikan ke pemilik kopi. Cara seperti ini dilakoninya agar menjaga tradisi yang mulai ditinggalkan oleh kebanyakan orang seprofesinya.

Perhari, ia bisa menumbuk biji kopi sampai 200 kilogram. Ia dibantu oleh dua orang saudaranya. Umumnya, pengguna jasa tumbuk biji kopi tersebut datang dari pemilik warung kopi.

Namun, pihaknya juga menyediakan kopi bubuk dengan harga berkisar Rp 50 ribu hingga Rp 60 ribu perkilogram. “Kalau untuk jasa penumbukan biji kopi saja, itu Rp 50 ribu persepuluh kilogram,” katanya.(ADV)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *