BERITA RAKYAT ACEH | Banda Aceh – Pendapatan bagi hasil migas di Aceh khususnya di blok migas Kuala Simpang Barat dan Kuala Simpang Timur serta Rantau Perlak sampai saat ini masih belum transparan yang dilakukan
Kementrian ESDM diminta untuk segera mengeluarkan Kepmen sehingga tidak lagi terkatung katung, karena sudah 10 tahun berjalan tidak ada respon.
Selama ini pengelolaan Migas di Aceh masih dikelola Pertamina dan SKK Migas yang secara kerjanya tunduk ke pusat.
Seharusnya SKK Migas tidak ada lagi di Aceh karena sudah tergantikan dengan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) sebagaimana tertuang dalam UUPA No.11 tahun 2005.
Jangan sampai ada lagi pembegalan bagi hasil migas ini seperti kehilangan empat pulau yang memang sah punya Aceh’, ungkap Safaruddin dalam jumpa pers, Rabu 18 Juli 2025.
Dalam asumsi kami jika merujuk pada keterangan Fiel Manager Pertamina EP Rantau Field, Blok Migas yang di Kabupaten Aceh Tamiang saja menghasilkan 2.500 Barrel of Oil Per Day (BOPD), maka dalam satu tahun dapat menghasilkan 900.000 bopd, yang jika setelah dipotong $15 biaya listing dari $76 pendapatan kotor, jika dikalikan dengan harga $ saat ini sebesar $1= Rp.18.187 X 900.000 bopd = Rp. 888.666.300.000,-
Maka negara mendapatkan 70% dari pendapatan bersih tersebut sebesar Rp. 622.066.410.000, dan Aceh mendapatkan 70% dari bagian pendapatan bersih negara yaitu sebesar Rp. 435.446.487.000 X 10 (dari tahun 2015-2025), maka Aceh dari Blok Migas di Aceh Tamiang saja sudah mendapatkan Rp. 4.789.911.357.000.
‘Kami menghimbau Pemerintah Aceh untuk melakukan komunikasi kembali dengan Menteri ESDM agar pendapatan hasil Migas Aceh lebih besar lagi’, demikian Safaruddin.
Proses Advokasi yang telah dilakukan:
Pada tahun 2021, Asrizal Asnawi (anggota DPRA) menggugat Kementerian ESDM, SKK Migas, Pertamina dan BPMA di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara Nomor 338/Pdt.G/2021/Jkt.Pst Asrizal meminta agar semuanya mematuhi pasal 90 PP23/2015.
Pada tanggal 25 Oktober 2021 di Jakarta dari gugatan tersebut kemudian lahir kesepakatan berupa:
– Pertama, Asrizal H Asnawi mencabut gugatannya terhadap para tergugat di PN Jakarta Pusat dengan nomor register: 338/Pdt.G/2021/Jkt.Pst.
– Kedua, para pihak sepakat untuk menjalankan Pasal 90 Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2015, tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas di Aceh.
– Ketiga, para pihak yang menjadi subjek dalam PP Nomor 23 tahun 2015, akan menjalankan Pasal 90 PP No 23 tahun 2015.
– Keempat, para pihak yang berwenang akan membahas implementasi Pasal 90 PP No 23 tahun 2015, yang pelaksanaannya akan dikoordinasikan oleh Kementerian ESDM, dalam tata waktu yang wajar serta Asrizal H Asnawi dapat mengetahui progress implementasinya.
Namun proses tersebut tidak berjalan, bahkan Kementerian ESDM, SKK Migas dan Pertamina tidak menjawab ketika dimintai progres implementasi perdamaian tersebut.
Kemudian pada maret 2023, diajukan gugatan yang sama kembali oleh Kepala Perwakilan Aceh Tamiang, Samsul Bahri dan Aceh Timur, Indra Kusmeran. Saat sedang berlangsung persidangan kemudian Menteri ESDM, Arifin Tasrif, pada tanggal 26 Mei 2023 mengeluarkan surat Pengalihan Pengelolaan Sebagian Wilayah Kerja Pertamina EP di Wilayah Aceh kepada Badan Pengelola Migas Aceh dengan ketentuan:
1. pengelolaan Wilayah Kerja bari hasil carved out adalah afiliasi PT Pertamina EP;
2. Usulan term and condition Wilayah Kerja bari hasil carved out tersebut memperhitungkan nilai keekonomian yang sama sebagaimana telah berlangsung dalam kontrak Bagi Hasil Wilayah Kerja pertamina EP yang berlaku efektif pada tanggal 17 September 2025 sampai dengan 16 September 2035; dan
3. tidak boleh ada penambahan beban kewajiban baru bagi afiliasi PT Pertamina EP yang akan menjadi pengelola Wilayah Kerja bari hasil carved out dimaksud menindaklanjuti Surat Menteri ESDM tersebut kemudian disusun Term and Condition antara Pertamina EP, SKK Migas dan BPMA, yang kesepakatan tersebut kemudian diajukan kepada Pemerintah Aceh untuk mendapat persetujuan.
Pemerintah Aceh tersebut, Menteri ESDM mengeluarkan Keputusan Menteri untuk Blok Migas tersebut agar segera dilakukan kontrak antara PT Pertamina Hulu Energi Aceh Darussalam dengan BPMA, namun sampai saat ini Kementerian ESDM tidak menindaklanjuti lagi proses tersebut sehingga sampai saat ini Blok Migas di Aceh Tamian dan Aceh Timur masih dalam pengelolaan PT Pertamina EP dan SKK Migas. Kami menilai perbuatan mendiamkan proses alih kelola Migas Aceh sebagaimana perintah UU PA dan PP 23 tahun 2015 menyerupai upaya pembegalan hasil migas Aceh sebagaimana upaya pembegalan terhadap 4 pulau Aceh yang telah diselesaikan dengan bijak oleh Presiden Prabowo Subianto. (imj)